Memori Natal


xmas3

Meskipun bukan hari raya agama saya, tetapi saya tetap senang jika hari Natal tiba. Momen Natal merupakan salah satu momen yang paling saya sukai sepanjang tahun. Sewaktu saya kecil, hari Natal merupakan hari berkumpulnya (hampir) seluruh keluarga besar dari pihak mama yang tersebar di berbagai kota (selain tahun baru Imlek :p). Oleh karena itu, hari Natal selalu saya asosiasikan sebagai “hari kumpul bareng keluarga besar”.

Semasa kecil, setiap menjelang hari Natal, yakni pada tanggal 5 Desember, saya selalu memasang sepatu di dekat pintu rumah. Sepatu itu saya isi dengan rumput yang dicabut dari halaman depan rumah. Untuk apa? Saya menunggu Sinterklas. 😀

Ya. Waktu kecil saya percaya Sinterklas. Bagaimana tidak, sepanjang yang saya ingat, kebiasaan memasang sepatu dan rumput tersebut sudah dimulai sejak saya kecil sekali, mungkin sejak saya berusia sekitar tiga tahun. Rumputnya untuk rusa Sinterklas. Ketika saya mulai bisa menulis, saya pun menulis surat untuk Sinterklas. Isi suratnya biasanya berupa permohonan daftar hadiah yang diinginkan untuk tahun itu.

Keesokan harinya, biasanya rumput dalam sepatu sudah hilang, kemudian digantikan dengan berbagai macam hadiah yang dibungkus rapi. Karena hadiah yang saya minta dalam surat biasanya berlebihan, maka seringkali hadiah yang ada di samping sepatu saya pada pagi hari tidak sesuai dengan isi surat pada malam sebelumnya. Yah, siapa yang peduli? Yang penting dapat hadiah, tentu saja saya senang. Hadiah yang saya terima biasanya berupa makanan, mainan, kemudian seiring bertambahnya umur, hadiah-hadiah tersebut juga bertambah “dewasa”.

Demikian pula, seiring bertambahnya usia, pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan. Dari mana Sinterklas masuk? Kita kan tidak punya cerobong asap. Cukupkah rumput yang cuma segenggam untuk semua rusa Sinterklas? Kok, hadiah saya dan adik saya biasanya sama? Ketika masuk sekolah, saya pun menceritakan pengalaman saya dengan Sinterklas pada teman-teman di sekolah. Saya heran. Soalnya hampir tidak ada teman yang mendapatkan hadiah Natal dari Sinterklas dengan cara yang sama seperti saya mendapatkannya. Biasanya mereka mendapat hadiah Natal dari orangtua, ataupun dari Sinterklas yang dipanggil pada acara perayaan Natal bersama.

But as they said, people choose what they want to believe. Masa bodoh dengan semua hal yang tidak logis, yang penting saya percaya bahwa Sinterklas itu ada, maka Sinterklas itu ada. Maka jadilah saya mengesampingkan semua kejanggalan-kejanggalan yang saya temukan dan dengan teguh hati tetap meyakini bahwa Sinterklas itu benar ada, karena toh tiap tahun saya dibawakan hadiah dari Sinterklas. 😀

Pernah satu kali surat saya dibalas oleh Sinterklas. Saya masih ingat, waktu itu kertasnya berwarna kecoklatan, dan tulisan tangannya seperti tulisan tangan orang-orang zaman dahulu. Pokoknya cantik deh. Saya juga tidak tahu kenapa selama sekian tahun saya mengirim surat pada Sinterklas, baru sekali itu surat saya dibalas. Kalau tidak salah waktu itu saya kelas empat atau lima SD. Mungkin karena surat-surat saya sebelumnya hanya berisi “Sinterklas yang baik, tahun ini Sari mau minta hadiah blablabla…” dan “Terima kasih Sinterklas yang baik” sedangkan pada tahun itu, saya agak curhat sedikit pada Sinterklas. Asal tahu saja, dulu saya termasuk anak yang nakal. Maka jadilah pada surat saya tahun itu, saya bertanya, “Bagaimana caranya menjadi anak yang baik?” Sayangnya, saya sudah lupa apa jawaban Sinterklas waktu itu. Hehehe.

Saya akhirnya tahu bahwa ternyata Sinterklas yang memberi saya kado Natal selama itu ternyata adalah orangtua saya bersekongkol dengan om dan tante saya (sebab sepupu saya juga mendapat hadiah dari Sinterklas) yaitu pada saat saya kelas enam SD dan berumur dua belas tahun. Waktu itu, seingat saya ada orang yang memberi tahu saya bahwa “Sinterklas itu palsu” kemudian saya pun menanyakan kebenaran hal itu pada orang-orang dewasa lainnya. Masih terbayang jelas bagaimana kecewa dan sakit hatinya saya ketika akhirnya mereka mengakui bahwa “Sinterklas” yang selama ini saya tulisi surat, “Sinterklas” yang selama ini memberi saya kado Natal, “Sinterklas” yang selama ini saya yakini keberadaannya, ternyata hanyalah rekaan guna memperindah masa kanak-kanak saya.

Kemudian saya teringat isi surat-surat yang saya kirimkan kepada Sinterklas, terutama surat terakhir di mana saya bertanya mengenai “Bagaimana menjadi anak yang baik”. Bisa dibayangkan betapa malunya saya ketika itu. Hahaha. Akhirnya, dengan kejadian tersebut, semua sepupu-sepupu saya yang lain pun jadi ikut-ikutan tahu mengenai kebenaran yang sebenarnya, dan sejak saat itu, acara menanti kado Natal dari Sinterklas setiap tanggal 5 Desember pun berakhir sudah.

Kalau sekarang saya ditanya, apakah saya marah atau menyesal karena sudah “ditipu” sewaktu kecil, saya akan menjawab sama sekali tidak. Kenangan bersama Sinterklas adalah satu hal yang membuat masa kecil saya indah dan berkesan. Mungkin ada yang berkata saya bodoh karena percaya bahwa Sinterklas itu nyata, lalu memangnya kenapa? Toh banyak hal-hal abstrak di dunia ini yang karena kita yakini dan percayai; kemudian hidup kita menjadi lebih bermakna karenanya, tanpa memandang apakah hal-hal tersebut nyata atau cuma rekaan. Tanpa pernah “ditipu” oleh teori keberadaan Sinterklas, mungkin saja masa kecil saya tetap bahagia dan berkesan. Namun, kalau boleh memilih, saya akan tetap memilih untuk mempercayai adanya Sinterklas. Percaya itu pilihan. Anda tidak boleh memaksa orang lain untuk percaya atau tidak percaya, sebab bukan Anda yang akan hidup dengan hasil dari pilihan itu. Orang bijak memahami bahwa tidak setiap orang ditakdirkan untuk menapaki jalan yang sama; bukankah yang penting adalah tujuan akhirnya? Dan selama tujuan akhirnya baik, saya kira sah-sah saja orang memilih jalan dan keyakinannya sendiri. Jangan mengatakan orang lain tersesat hanya karena jalan yang ditempuhnya berbeda dengan jalan Anda. Itu picik. Menurut saya, orang yang tersesat justru adalah orang yang tidak mau mengakui bahwa terdapat kemungkinan adanya jalan lain selain jalan yang sedang ditempuhnya, dan mungkin saja jalan yang lain itu akan membawa Anda ke tujuan yang sama baiknya.

Sampai sekarang pun terkadang saya masih merindukan masa kanak-kanak ketika saya masih percaya pada Sinterklas. Saya rindu memasang sepatu di dekat pintu, saya rindu mencabut rumput untuk diberikan pada rusa Sinterklas, saya rindu menulis surat permintaan hadiah pada Sinterklas, saya rindu merasakan perasaan deg-degan ketika bangun keesokan harinya dan memeriksa hadiah apa yang diletakkan di dekat sepatu saya, saya rindu kebodohan masa kanak-kanak yang membuat masa kecil saya menjadi indah. Saya rindu ditipu Sinterklas! 🙂

Tahun demi tahun terus berganti, dan hingga kapanpun, bagi saya Natal akan selalu membawa kenangan manis tentang “Sinterklas yang baik”. Semoga kita semua bisa menjadi Sinterklas-Sinterklas yang membuat hidup orang-orang lain menjadi indah dan berkesan.

Happy Christmas! Have a merry one! 😀

aKzGwWZ_700b

5 thoughts on “Memori Natal

  1. Thank you, my dearest Sari.
    Your story brings back those lovely childhood memories of mine as well. I wish we can wind back the clock and enjoy those lovely moments for seconds.
    Love you …..
    Xxoo

    Like

  2. […] I used to believe in Santa. When I was a kid, there was a family tradition where we would get presents from Santa each year. Then, when I grew up and finally knew that Santa wasn’t real, I was heartbroken. I know I should have noticed, but in fact, it had never occurred to me as to why Santa’s face was different each year, or how he got into our house and put presents even though it had no chimney. Now that I think about it, perhaps there was a part of me that wanted to believe that Santa was real—that’s why I never wanted to stay awake until morning to catch Santa, or how I never confronted my parents even though my friends had said that Santa wasn’t real. […]

    Like

Leave a comment