Mentalitas Inferior


Selama pola pikir masih dominan ke “kepentingan saya dan keturunan/kelompok saya”, maka kemajuan bangsa dan negara masih akan terhambat. Selama pola pikir masih berpusat di “selama masa hidup saya” alih-alih lebih berpikir jangka panjang ke depan, kemajuan bangsa dan negara masih akan terhambat. Memajukan suatu kelompok (manusia) dengan jumlah individu yang besar (baca: negara) memerlukan pengorbanan minimal satu generasi.

Pengorbanan yang saya maksud ialah menjalani perubahan yang diperlukan untuk membawa bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Perubahan ini mencakup perubahan dalam sistem pemerintahan maupun perubahan pada individu-individu yang merupakan anggota dari organisasi (negara) itu sendiri. Perubahan eksternal dimaksudkan sebagai perubahan-perubahan pada sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, dan sebagainya yang “tampak” secara fisik, sedangkan perubahan internal pada individu meliputi perubahan-perubahan pada mentalitas individu termasuk pola pikir dan gaya hidup. Perubahan sistem dan sebagainya yang bersifat eksternal relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan perubahan individu yang sifatnya internal. Yang sulit adalah mempertahankan perubahan ini, sebab untuk mempertahankan perubahan eksternal yang sudah menjadi lebih baik, pertama-tama diperlukan perubahan internal individu. Sebaik apapun sistem, namun jika mentalitas individu tidak diperbaiki, maka kondisinya akan kembali menjadi seperti semula alias devolving alih-alih evolving jika kursi pemerintahan berganti kelak.

Perubahan mental ini memerlukan jangka waktu yang relatif panjang, sebab jika perubahan eksternal hanya memerlukan upaya-upaya fisik, maka perubahan internal ini harus dimulai dari diri masing-masing, disertai dengan adanya kemauan serta komitmen yang baik. Jika melihat perubahan-perubahan yang dilakukan pada era pemerintahan sekarang ini, memang ada beberapa yang terkesan lebay dan tidak masuk akal, namun saya memakluminya sebagai upaya pemerintah untuk mengubah kebiasaan, pola pikir, serta cara pandang masyarakat mulai dari diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa saya mengatakan bahwa untuk memajukan suatu negara, diperlukan pengorbanan minimal satu generasi, sebab sebagaimana dalam salah satu metode penelitian ilmiah, kita mungkin memerlukan suatu periode “wash out” untuk mencuci sisa-sisa mentalitas yang masih kurang baik..

Harus ada satu titik di mana individu-individu yang tergabung dalam satu negara menyadari bahwa memang ada hal-hal yang perlu dipertahankan sebagai ciri khas bangsa sendiri, namun juga ada hal-hal lain yang perlu diubah demi kemajuan negara itu. Perubahan memang tidak senantiasa menyenangkan, sebab perubahan berarti melangkah keluar dari zona nyaman kita untuk memasuki suatu daerah asing yang memerlukan proses adaptasi ulang. Namun, bukankah orang-orang berkata bahwa “Pain is just weakness leaving the body”? Jadi, selama belum ada generasi yang rela mengorbankan kepentingan pribadi/kelompoknya, artinya kita masih menabung “utang” pengorbanan untuk generasi berikutnya.

Yang lazim terjadi sekarang ini ialah kebiasaan masa bodo dan kebiasaan menginginkan hasil yang instan. Masa bodo, selama saya (dan keluarga/kelompok saya) makmur, bodo amat dengan orang lain. Masa bodo dengan kondisi bangsa lima puluh tahun mendatang, toh saya sudah tua dan kemungkinan tidak bakal hidup ketika saat itu tiba. Selama kita masih begitu, yakinlah bahwa siapapun pemerintahnya, kemajuan tidak akan pernah tercapai.

Pergantian tampuk pemerintahan baru seumur jagung, lantas sudah ada yang teriak, “Ingkar janji!” Lha era Abraham Lincoln saja sudah dari zaman jebot, toh diskriminasi rasial masih terjadi di Amerika Serikat hingga sekarang. Ada orang-orang yang merasa senang menempatkan dirinya sebagai korban penipuan pemerintah, ada juga yang memang hanya senang mencari-cari kesalahan, sebab hal itu membuat mereka terkenal, setidaknya di dunia virtual. Yang namanya revolusi memang satuannya pakai “tahun” keleus. Kalau Anda mau yang hitungan “hari”, sebaiknya Anda berotasi saja. :v

Kita memang butuh revolusi mental, tapi jangan muluk-muluk mengharapkan hasil yang instan, sebab memang banyak yang perlu dibenahi dari mental rakyat kita. Tidak usah jauh-jauh; sampai sekarang, masih berapa orang yang menganggap bangsa asing sebagai “bangsa penjajah”? Mencap bangsa asing sebagai “penjajah” secara tidak langsung menempatkan diri sebagai posisi “terjajah”. Inferiority complex. Hati-hati, GMO selain bermakna “Gagal Move On”, juga bisa berarti “Gangguan Mental Organik” kan.

Secara de jure maupun de facto, kita sudah bebas dan merdeka – namun apakah mental kita masih seperti mental terjajah? Teriak-teriak anti-asing, tapi pakaian dan barang-barangnya merk luar negeri, produksi impor. Bangga pula. Dipamerkan pula. Orang luar negeri berprestasi dipuji, orang Indonesia buat kesalahan, dibilang “Ah maklum, kan orang Indonesia.” Standar ganda. Lalu teriak “Kita ini bangsa yang besar!” Lha sekarang obesitas itu termasuk penyakit lho.

Teriak anti-asing, kemudian gengsi belajar dari pengalaman bangsa lain, sebab katanya nasionalis. Menurut saya sih, itu bukan bangga atau nasionalis, melainkan sombong dan bebal. Pengalaman adalah guru terbaik, bahkan dari pengalaman orang lain pun kita dapat belajar. Inilah susahnya kalau sudah fanatik sempit. Bercita-cita ingin memajukan bangsa, namun enggan menerima apa yang bukan berasal dari kelompok (negara) sendiri. Lalu minta hasil yang instan. Kenapa nggak sekalian minta ke Doraemon saja?

Dibanding dengan negara-negara barat, menurut saya dalam hal mental Indonesia masih tertinggal sekitar 50 tahunan. Patut disesalkan bahwa pertumbuhan ekonomi, teknologi, dll yang sifatnya eksternal tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan mental individunya. Mungkin kita perlu merujuk Thomas Malthus di sini, bahwa pertumbuhan fisik (sistem) pemerintahan Indonesia adalah deret ukur, sedangkan pertumbuhan mental penduduknya adalah deret hitung.

Saya menyayangkan bahwa jauh setelah kekuasaan berpindah tangan, ternyata masih ada orang-orang yang terjebak di masa itu dan memilih untuk mengais sisa-sisa kepahitan masa pilpres ketimbang maju untuk mendukung maupun mengkritisi pemerintahan selanjutnya. Pesta demokrasi telah usai, mengapa masih menyayangkan sisa-sisa hidangan yang telah habis dan merindukan piring-piring kotor yang telah dicuci? Janganlah memuja dengan keras kepala, ataupun membenci dengan membabi buta. Jika hanya menghabiskan waktu untuk nyinyir dan mencari-cari kesalahan, lalu kapan kita akan mulai mengintrospeksi diri dan berubah ke arah yang lebih baik? Mengutip JFK, “Jangan tanyakan apa yang negaramu telah berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.” Sementara kita asyik nyinyir kiri kanan, orang lain (termasuk pemerintah) telah mulai bekerja dan berbenah untuk memajukan negara. Mungkin tidak setiap langkah yang diambil sesuai dengan pertimbangan dan keinginan kita, namun adakah yang telah kita lakukan untuk memperbaiki kekurangan itu? Pemerintah memang penting, namun apakah tanpa pemerintah kita lalu tidak bisa berbuat apa-apa? Itu namanya cari alasan.

Saya berharap orang-orang yang memuja dengan keras kepala akan berubah menjadi sebatas “mendukung”, dan orang-orang yang membenci dengan membabi buta berubah menjadi sebatas “mengkritisi”, namun yang kebanyakan saya lihat adalah mereka yang membenci dengan bersembunyi di balik topeng “mengkritisi” serta “kebebasan berpendapat”, lalu mengatasnamakan “rakyat” untuk mencari pembelaan. Ini kan hanya ego defense mechanism. If you don’t have anything nice to say, and if you haven’t done anything to bring this country to a better condition, please just suck it up and excrete through the lower hole. Banyak yang kemudian senang mencari-cari kesalahan, mengutip sana-sini hanya karena sejalan dengan suasana hatinya. We should know that the enemy of our enemy is not always a friend.

Mendukung dan mengkritisi pemerintah demi kemajuan bersama adalah baik. Namun sejujurnya saya mengharapkan adanya pihak oposisi yang sifatnya konstruktif dan bukannya reaktif sakit hati. Toh dunia politik memang tidak hitam putih. Politisi tetaplah politisi, dan adalah bijak untuk tidak memercayai setiap janji yang dilontarkan saat masa kampanye berlangsung. Bukankah ekspektasi yang berlebihan memang selalu berujung pada kekecewaan? Jika Anda termasuk orang yang menelan bulat-bulat setiap janji politik kemudian kecewa saat janji tersebut belum/tidak ditepati, mungkin dunia politik terlalu keras untuk Anda.

Pihak oposisi konstruktif diperlukan dalam setiap sistem pemerintahan, sebab kehadiran oposisi akan menghadirkan suatu pihak yang bertindak sebagai “rival” untuk saling mendorong meningkatkan kualitas masing-masing. Ada satu dialog yang akan saya kutip dari film “Hero” (2002) antara si tokoh protagonis (Nameless) dengan tokoh antagonis (Raja Qin).

Nameless: Broken Sword said for years there has been continuous warfare, causing huge suffering to the people. Only Your Majesty has the power to bring peace by uniting our land. He hoped that for the sake of the greater good, I would abandon my plan to kill you. Broken Sword also said, “One person’s pain is nothing when compared to the suffering of all.” The conflict between Zhao and Qin is nothing when compared with peace for all.

King of Qin: Who would have thought an assassin would understand me best! Alone in my position I have endured endless criticism, endless attempts on my life. No one has ever grasped what I have been trying to do. Even my own court regards me as a tyrant. And yet, Broken Sword, a man I barely knew, was able to see clearly what is truly in my heart.

Seperti itulah dunia politik. Tidak semua hitam dan putih. Tidak selamanya “saya vs kamu”, “kita vs mereka”. Seeing the world as merely black and white will make you miss the beauty of other existing colors. Saya berharap semoga para pemuja dan pembenci menyempatkan diri sejenak untuk mengkaji ulang mengenai segala sesuatunya menggunakan pikiran ketimbang perasaan. Jika Anda tidak memedulikan lagi “apa yang dikatakan” hanya karena “siapa yang mengatakan” berasal dari kubu yang sepihak dengan Anda, maka kita tidak perlu repot-repot menggunakan akal sehat dan pertimbangan logika – mending ikut kelas teknik self-marketing saja. Sebaliknya, jika Anda percaya mentah-mentah “apa yang dikatakan” hanya karena sesuai dengan suasana hati Anda tanpa mengecek kredibilitas dari “siapa yang mengatakan”, sebaiknya Anda ikut kelas mengenai cara membuat karya ilmiah yang baik dan benar, terutama bagian mencari referensi.

Memajukan bangsa dan negara memerlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat yang bersatu. Rakyat yang bersatu adalah rakyat yang tidak dipilah-pilah oleh sekat-sekat kelompok seperti SARA. Visi dan misi adalah teori sebagaimana layaknya janji-janji politik; dalam praktiknya sendiri, yang diperlukan adalah pengecilan ego individu serta komitmen untuk kemajuan bersama. Selama sudut pandang masih bersifat personal alias “yang penting saya anu” dan berjangka waktu pendek, maka kita masih akan buta terhadap berbagai potensi-potensi yang ada untuk memajukan bangsa. Untuk itu diperlukan penyeimbang berupa cara pandang yang bersifat global dan luas serta berjangka panjang ke depan, agar tercipta suatu situasi yang kondusif untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik. Jika Anda terpaksa harus berkorban sesuatu, yakinlah bahwa pengorbanan individu tersebut akan berdampak kemenangan bagi seluruh rakyat.

“It ought to be remembered that there is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or more uncertain in its success, than to take the lead in the introduction of a new order of things. Because the innovator has for enemies all those who have done well under the old conditions, and lukewarm defenders in those who may do well under the new. This coolness arises partly from fear of the opponents, who have the laws on their side, and partly from the incredulity of men, who do not readily believe in new things until they have had a long experience of them.”
– Niccolò Machiavelli, “Il Principe”


NB: Jika Anda masih gegar politik sebaiknya tundalah untuk membaca Il Principe.
NB selipan (dan sama sekali tidak berhubungan dengan isi tulisan di atas): Jika Anda masih bingung membedakan antara “komunis” dan “ateis”, coba buka kembali buku pelajaran SD Anda.

8 thoughts on “Mentalitas Inferior

  1. “Dibanding dengan negara-negara barat, menurut saya dalam hal mental Indonesia masih tertinggal sekitar 50 tahunan. Patut disesalkan bahwa pertumbuhan ekonomi, teknologi, dll yang sifatnya eksternal tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan mental individunya.”
    Saya kutip Mba tulisannya. Indonesia dan barat jelas berbeda, dari segi sejarah dan karakter manusianya. tapi, jika melihat alur sejarah dunia secara global maka akan terlihat, tumbuh dan berkembangnya peradaban dan lalu layu. Itu siklus sejarah.
    Jika ingat sejarah bangsa ini, para founding fathers bukan saja berjuang secara fisik tapi mereka belajar yang secara intelektual setara dengan bangsa penjajah, Bung Karno, Hatta, Salim, Natsir dll berapa bahasa mereka kuasai, ahli menulis dan orator ulung ketika berdiplomasi. Nah, dimana terputusnya link sejarah bangsa ini kepada masa itu?
    Salam share ok

    Like

  2. “Dibanding dengan negara-negara barat, menurut saya dalam hal mental Indonesia masih tertinggal sekitar 50 tahunan. Patut disesalkan bahwa pertumbuhan ekonomi, teknologi, dll yang sifatnya eksternal tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan mental individunya.”
    Saya kutip Mba tulisannya. Indonesia dan barat jelas berbeda, dari segi sejarah dan karakter manusianya. tapi, jika melihat alur sejarah dunia secara global maka akan terlihat, tumbuh dan berkembangnya peradaban dan lalu layu. Itu siklus sejarah.
    Jika ingat sejarah bangsa ini, para founding fathers bukan saja berjuang secara fisik tapi mereka belajar yang secara intelektual setara dengan bangsa penjajah, Bung Karno, Hatta, Salim, Natsir dll berapa bahasa mereka kuasai, ahli menulis dan orator ulung ketika berdiplomasi. Nah, dimana terputusnya link sejarah bangsa ini kepada masa itu?
    Keterputusan inilah yang membuat bangsa ini seperti sekarang, sebab kemajuang bangsa tergantung pemimpinnya, tapi siapa yang pantas disebut pemimpin dan bukan penguasa? Kita bisa bandingkan dengan negara tetangga Asia tenggara yang sama2 negara bekas jajahan…
    Salam share ok

    Like

    1. Saya setuju Mas. Menurut saya, salah satu penyebab keterlambatan itu adalah karena memang Indonesia lebih lambat merdeka dibanding dengan beberapa negara di barat, sehingga titik awalnya jelas berbeda. Namun terlambat merdeka sebenarnya tidak bagus juga dijadikan alasan untuk ogah2an mengejar ketertinggalan. 🙂
      Kalau dilihat dari segi tokoh2 intelektual seperti Bung Karno dll, saya justru menganggap Indonesia setara dengan tokoh2 bangsa lain. Hanya saja, sebagai orang yang menetap di Indonesia, saya jadi lebih bisa mengamati secara lebih terperinci karakter2 individu kita sendiri, dan menurut saya salah satu kekurangan kita adalah masih banyak individu2 yang bersikap kurang terbuka terhadap perubahan. Padahal, bersikap terbuka belum tentu berarti menerima, kan? 🙂
      Soal pemimpin, saya rasa masih terlalu dini untuk menilai kinerja pemerintah sekarang untuk menilai apakah baik atau buruk. Tapi saya rasa, selama kita masih belum bisa bersatu untuk satu tujuan bersama, kemajuan masih akan lambat, soalnya sampai sekarang masih banyak yang berpikir “pemerintah vs rakyat” ketimbang “pemerintah dan rakyat”..
      Anw terima kasih atas masukannya 😀

      Liked by 1 person

  3. Setuju banget soal para pemuja dan pembenci yang sebaiknya sama-sama mulai menggunakan logika dalam membahas suatu isu, karena pada akhirnya toh keputusan akhir itu untuk semuanya 🙂 hehehe \(^v^)/ Physiology bless us all … hahaha

    Like

Leave a comment