Tentang “Penyakit Menular” yang Disebut LGBT


Mengikuti tren media sosial yang akhir-akhir ini sedang ramai-ramainya membahas masalah LGBT (lesbian, gay, bisexual, & transgender), saya pun baru-baru ini nge-twit sedikit tentang LGBT. Lalu karena responnya lumayan bagus, maka saya pun meniru Hapidz dan mengumpulkan twit-twit saya menjadi sebuah artikel blog. (Pret!)


Kalau tidak salah, tren ini bermula ketika sekelompok mahasiswa yang mengaku mewakili salah satu PTN di Indonesia membuat selebaran bernada mendukung LGBT di media sosial, kemudian postingan tersebut menjadi viral dan menimbulkan kehebohan, khususnya bagi pihak-pihak yang mengecam hal tersebut. Berbagai diskusi, baik yang beretika maupun yang tak beretika, bermunculan oleh karena adanya pemicu ini.

Setelah diperhatikan, pertanyaan pamungkas dari orang-orang yang dengan bangganya memasang tagar #antiLGBT di bio akun media sosial mereka biasanya adalah, “Gimana kalau seandainya saudara/teman/keluarga kamu yang jadi LGBT?” Biasanya, di dalam pertanyaan tersebut diselipkan pula kata “amit-amit” dan “maaf”.

Meskipun belum ada yang bertanya secara langsung pada saya, tetapi seandainya suatu saat nanti ada yang bertanya seperti itu, maka jawaban saya adalah, “Kalau saudara/teman/keluarga saya LGBT, ya gapapa. Emang kenapa?” (Sebenarnya, yang sering ditanyakan adalah, “Gimana kalau anak kamu…” tetapi berhubung saya belum menjadi mamak-mamak, maka saya belum berkompeten untuk menjawab pertanyaan tersebut.)

Yang bertanya demikian biasanya karena menganggap LGBT sebagai suatu “penyimpangan” terhadap suatu kondisi “normal” yang disebut sebagai heteroseksual, meskipun saya tidak tahu entah apa patokan mereka menganggap mana yang “normal” dan mana yang “penyimpangan”, sebab menurut saya yang berkecimpung di dunia sains, “normal” hanyalah suatu istilah untuk menggambarkan suatu batasan (range) bagi kondisi-kondisi yang paling sering ditemui pada kelompok mayoritas. (CMIIW)

Nah, masalahnya adalah (sebenarnya ini bukan “masalah” :D), saya sama sekali tidak menganggap LGBT sebagai suatu penyimpangan, dan bagi saya, “normal” tidak harus selalu berupa heteroseksual. Bagi saya, heteroseksualitas dan homoseksualitas kurang lebih sama dengan kelompok orang-orang yang dominan tangan kanan dan kelompok orang-orang kidal. Sesederhana itu. Se-“tidak penting” itu—berarti bahwa saya menolak untuk menilai seseorang berdasarkan orientasi seksualnya, sedemikian pula saya menolak untuk menilai seseorang berdasarkan apakah dia kadal atau kidal.

Oleh sebab itulah, menurut saya pun menggelikan jika muncul istilah-istilah serupa “hak asasi LGBT”, “hak asasi perempuan”, “hak asasi kaum minoritas”, dan sebagainya. Mengapa? Sebab istilah-istilah tersebut, meskipun kesannya seolah toleran, namun justru bersifat diskriminatif. Apakah seseorang harus dibela hanya karena ia LGBT? Apakah seseorang harus dibela hanya karena ia perempuan? Apakah seseorang harus dibela hanya karena ia minoritas? Kagak dong.

Hak asasi manusia ada ya karena seseorang itu manusia; bukan karena dia LGBT/perempuan/minoritas dan lain-lain. Kalau memang mau adil, ya harusnya hak asasi manusia saja semua dipukul rata, tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, usia, orientasi seksual, dan sebagainya. Tidak harus menjadi LGBT untuk membela LGBT. Tidak perlu menjadi perempuan untuk membela perempuan. Tidak mesti menjadi minoritas untuk membela minoritas. Kita cuma butuh rasa kemanusiaan, sebab hak asasi pada dasarnya adalah sama untuk setiap manusia, terlepas dari apapun atribut-atributnya.

Demikian pula halnya dengan mereka yang sering sok berkata, “Yang mayoritas melindungi minoritas. Sebaliknya, minoritas harus menghormati mayoritas.” That is bullshit. Kalau Anda memang adil dan bijak, yang benar adalah, “Semua orang harus saling melindungi dan menghormati tanpa memandang apakah ia mayoritas atau minoritas.”

Begitu juga dengan argumen “Lebih baik kafir tapi jujur daripada [agama] tapi korup” yang dibantah dengan “Bukankah lebih baik jika sekaligus [agama] dan jujur? Mengapa Anda seolah-olah menggambarkan bahwa yang kafir selalu jujur dan yang [agama] selalu korup?” Of course, tentu saja, sudah jelas lebih baik jika [agama] dan jujur (NB: [agama] boleh diisi dengan agama favorit masing-masing), but you clearly missed the point, guys. Poinnya adalah apa yang Anda prioritaskan. Prioritasnya adalah jujur, apapun agamanya. Di sini sepertinya terjadi penyesatan pemilihan diksi yang kurang sesuai oleh kedua belah kubu.

Salah seorang guru saya, orang Cina, pernah ditegur, “Bapak sebagai orang Cina seharusnya membela sesama orang Cina!” Lalu dijawab oleh beliau, “Memangnya apa yang harus saya bela dari orang Cina? Apa yang harus saya bela dari ke-Cina-an seseorang? Saya membela orang bukan karena dia Cina atau Jawa atau Makassar atau Kristen atau Islam atau Buddha, tapi saya membela kebenaran.”

Demikianlah, bukan karena sukunya, atau agamanya, atau rasnya, atau golongan, atau usia, atau orientasi seksual, atau atribut apapun kita selayaknya membela seseorang, melainkan berdasarkan konteksnya. That’s why the Lady Justice is pictured wearing a blindfold and holding a scale.

Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka seharusnya tidak masalah apakah seseorang itu LGBT atau non-LGBT, sebab orientasi seksual hanyalah atribut sebagaimana SARA, dan apabila kita menilai seseorang berdasarkan atributnya, maka betapa sempit wawasan kita.

Lantas, mengapa orang-orang sedemikian heboh takutnya dengan kaum LGBT?

Menurut saya, ada beberapa alasan:

  1. Mereka menganggap LGBT sebagai suatu penyimpangan
  2. Mereka menganggap LGBT bisa menular
  3. Mereka terdoktrin ajaran agama (intinya ada di kata “doktrin”, bukan di kata “agama”).

Kemudian, Mbak @dl0ne meng-counter attack:

  1. Lha kan bukan mereka yang menyimpang
  2. Lha kan mereka ga bakal ketularan
  3. Lha kan mereka ga kena dosanya.

Saya ngakak waktu membaca tanggapan di atas. Soalnya jleb banget. Sayangnya, orang-orang yang #antiLGBT rata-rata merasa dirinya memiliki kewajiban suci nan mulia untuk mencegah penyebaran “penyakit menular” ini dan melindungi orang lain dari “penyakit menular” tersebut, atau bahkan berupaya menyembuhkan “orang-orang sakit” dari “penyakit LGBT”. (Bahkan ada yang meng-ekstrapolasi, “Apa yang terjadi jika semua Homo sapiens menjadi LGBT? Kepunahan massal! Ga perlu meteor, perang nuklir, atau zombie apocalypse.”)

Tapi, yah begitulah. Ini cuma masalah persepsi. Selama masih berpikir menggunakan pola pikir yang menganggap LGBT sebagai padanan dari Zika virus atau bumi itu datar atau Netflix dan Vimeo harus diblokir karena mengandung unsur pornografi tapi boleh diakses asal langganan provider tertentu, misalnya, maka diskusi mengenai LGBT tidak akan pernah mencapai win-win solution.

Saya hanya menyayangkan bahwa justru sekumpulan orang yang tergolong memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang paling ribut berkoar-koar soal #antiLGBT, namun setelah diamati dari isi media sosialnya, justru paling minim pengetahuannya mengenai LGBT.

Pernah saya dapati komentar sinis mengenai LGBT justru dari akun Twitter seorang dokter spesialis yang tidak saya kenal. Padahal seorang dokter tidak semestinya menganggap LGBT sebagai penyimpangan, bukan karena status sosialnya sebagai dokter, melainkan karena status pendidikannya. Maksud saya, dokter mana sih yang tidak pernah membaca PPDGJ, atau DSM, atau ICD?

Maka mungkin benarlah bahwa kita bisa menilai seseorang dengan lebih baik melalui isi media sosialnya ketimbang apa yang mereka tampilkan di dunia nyata.

Saya kurang berkompeten untuk membahas asal muasal terbentuknya orientasi seksual tiap individu; silakan berkonsultasi dengan textbook, jurnal, maupun orang-orang yang memang berkecimpung di bidang tersebut. Sekian dan terima kasih.

.

Ah, sebelum ada yang bertanya, “Kalau Anda mendukung LGBT, artinya Anda membenarkan pedofilia dong?”

Maaf saja, tetapi pantaskah Anda bertanya seperti itu di negara yang melarang pernikahan sesama jenis dan melarang pernikahan beda agama tetapi menetapkan batas usia pernikahan di usia 16 tahun (bagi perempuan) sekaligus membuat undang-undang yang menyatakan bahwa anak adalah berusia di bawah 18 tahun? Sebagai acuan, batas usia mengonsumsi alkohol adalah 16 tahun dan batas usia pembuatan SIM adalah 17 tahun—artinya pemerintah kita menganggap bahwa mengemudi memerlukan tanggung jawab yang lebih besar ketimbang menikah, dan menikah dianggap “setara” tanggung jawabnya dengan mengonsumsi alkohol.

Anyway, saya tidak membenarkan pedofilia. Saya pun tidak menikmati “Lolita”-nya Vladimir Nabokov. Konteksnya di sini adalah consent. Dalam dunia medis, yang berkompeten memberikan consent adalah orang dewasa (usia di atas 18 tahun atau sudah menikah), sadar secara fisik, mampu berkomunikasi secara wajar, dan sehat secara mental. Hubungan LGBT, jika tidak konsensual, adalah tidak benar. Hubungan LGBT, apabila menyalahi salah satu poin tersebut (usia, kesadaran fisik, kemampuan komunikasi, kesehatan mental) adalah tidak benar. Dan pedofilia sudah jelas-jelas tidak memenuhi syarat tersebut. Jadi, mendukung LGBT tidak otomatis mendukung pedofilia meskipun keduanya berhubungan dengan preferensi seksual. Please be smart and do some research before asking questions.

And please, do not start comparing LGBT with incest. Please do some research about scientific evidence regarding the disadvantages of incest.

.

NB. Mumpung topiknya menyerempet ke arah SARA, saya sekalian ingin menyampaikan belasungkawa kepada kelompok yang dulu mati-matian mempertahankan kolom agama di KTP. Meskipun kita semua tahu bahwa label agama di KTP tidak menjamin kualitas keimanan seseorang sehingga sebenarnya saya tidak mengerti apa yang dulu kalian perjuangkan, saya cuma ingin bilang, seandainya saja tidak ada kolom agama di KTP, maka kalian bisa dengan mudahnya mencap teroris kemarin sebagai ateis. Mengapa? Sebab tidak akan ada bukti mengenai agama mereka sebenarnya apa. Justru dengan adanya kolom agama di KTP, maka “oknum-oknum” bisa dengan santainya mencantumkan agama tertentu di KTP mereka untuk memudahkan mengadu domba. Sekarang ini, kalian ga akan bisa menuduh teroris manapun sebagai ateis, sebab technically, di Indonesia ga ada ateis.

Hidup Pancasila sila pertama! 😀 😀 😀

6 thoughts on “Tentang “Penyakit Menular” yang Disebut LGBT

  1. @Legibanget ya lgbt, secara sosiolosis sulit hilang. itu dilihat dari sejarahnya, dan itu menjadi acuan bagi kaum agamis, sebab perilaku bisa menstimulus orang lain biasanya… 🙂

    Like

Leave a comment