Apel: Saya Sebagai Awam


Salah satu persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Praktik (SIP) bagi dokter, khususnya di wilayah Makassar, ialah wajib mengikuti “Lokakarya Reguler Etika, Hukum, dan Organisasi Profesi Dokter” yang diadakan tiap tiga bulan sekali. Oleh karena itu, saya pun mengikuti lokakarya tersebut. Salah satu pemateri yang hadir ialah dr. Heru Budianto, SH, MM, dengan judul topik yang dibawakan bertajuk “Sengketa Medik”. Yang paling saya ingat adalah salah satu slide mengenai penyebab-penyebab tersering timbulnya suatu sengketa medik. Dalam slide itu, beliau memaparkan penyebab sengketa medik antara lain sebagai berikut.

  1. Perilaku negatif dokter
  2. Komunikasi dokter-pasien yang buruk
  3. Pasien/keluarga pasien yang emosional
  4. Layanan non-medis yang jelek
  5. Dokter kurang memahami etika.

Bagi saya, slide tersebut adalah yang paling berkesan di antara semuanya, sebab ada satu hal yang cukup menggelitik di sana. Saya ingat berpikir, mengapa pada suatu lokakarya yang jelas-jelas bertema etika profesi kedokteran, “pemahaman mengenai etika” justru ditempatkan pada urutan terakhir? Lalu apa urutan pertamanya? Perilaku negatif dokter.

Selanjutnya beliau menjelaskan yang dimaksud perilaku negatif dokter antara lain arogan, sombong, diskriminatif, dan sebagainya. Arogan karena merasa profesinya (dan oleh karena itu derajat sosialnya) lebih tinggi dibandingkan dengan profesi (dan derajat sosial) orang lain. Sombong karena merasa kompeten, mampu menyembuhkan penyakit pasien. Diskriminatif karena membeda-bedakan pelayanan antara pasien yang statusnya Jamkesmas, Jamkesda, Askes, maupun pasien umum.

Tentu beliau tidak mengeneralisasikan semua dokter seperti itu, tetapi mau tidak mau saya teringat pada beberapa kasus malpraktik kedokteran yang terjadi belakangan ini. Suatu kasus yang, meskipun terjadi beberapa tahun silam, namun baru meledak beberapa minggu terakhir. Suatu kasus yang sedemikian menggemparkan dunia medis maupun non-medis sehingga para dokter merasa perlu untuk bersikap defensif di hadapan masyarakat awam. Suatu kasus yang membuat para dokter merasa penting untuk melakukan suatu “aksi” solidaritas untuk menyatakan simpati terhadap rekan sejawatnya.

Mari kita berkaca sejenak. Jujur saja, saya sebagai seorang dokter, cukup merasa terganggu juga dengan adanya kegemparan yang timbul menyusul aksi solidaritas tersebut. Meskipun aksi berjalan damai dan terbatas hanya dua jam serta dengan tetap membuka fasilitas layanan kesehatan primer dan gawat darurat, toh nyatanya berita-berita yang timbul sesudahnya malah jauh lebih menggemparkan daripada berita mengenai aksi itu sendiri. Keluhan-keluhan dari pasien yang merasa ditelantarkan membanjiri halaman-halaman surat kabar dan layar televisi. Dokter dituding melanggar sumpah profesi, tidak punya hati nurani, mengabaikan kepentingan masyarakat umum, demi membela rekan sejawat yang (katanya) dibela karena mentang-mentang memiliki profesi yang sama. Masyarakat menghujat. Media bersorak. Dokter semakin terpojok.

Bukankah ini ironis? Suatu aksi solidaritas yang direncanakan untuk berlangsung damai, dengan suatu tujuan mulia yang menjunjung tinggi solidaritas antar rekan sejawat dan tetap mengedepankan pelayanan (primer) terhadap pasien, malah dituduh sebagai suatu pelanggaran terhadap sumpah profesi dan hilangnya hati nurani? Para dokter, dalam pembelaannya, mengatakan bahwa dokter juga hanyalah manusia biasa, yang punya hak untuk menyuarakan aspirasi serta menyatakan dukungannya terhadap rekan sejawat. Masyarakat, di sisi lain, membalas dengan menunjukkan kasus-kasus di mana selama aksi berlangsung, ternyata ada beberapa hal yang dirasa merugikan pasien secara khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Saat itu, sebagai dokter, saya sungguh merasa diperlakukan tidak adil. Soalnya, saya merasa kasus-kasus “kerugian pasien” itu terlalu dikarang-karang dan terlalu dikait-kaitkan sebagai akibat dari aksi solidaritas tersebut. Saya masih ingat, ketika itu sehari sebelum aksi solidaritas berlangsung, saya sempat nge-twit bahwa aksi solidaritas tersebut murni hanya sebagai “tindakan ngambek” dari para dokter sebagai ungkapan kekesalan karena merasa sejawatnya diperlakukan tidak adil. Saya mengerti, tindakan solidaritas ini, yang diameliorasikan sebagai “cuti bersama” dan dikonotasikan sebagai “aksi mogok” sama sekali bukan merupakan suatu solusi terhadap permasalahan apapun. Menurut saya pribadi, kalau memang tujuannya mencari solusi, ketimbang melakukan aksi solidaritas di mana sebagian besar pesertanya malah tidak memahami fakta-fakta yang sebenarnya di balik kasus malpraktik itu, kalau memang niat, lebih baik membentuk suatu tim penyidik khusus untuk meninjau ulang kasus tersebut. Bukankah ada perkataan “Knowledge is power”? Kita tahu, maka kita mampu untuk bertindak secara benar. Kalau kita tidak tahu, sebaiknya cari tahulah terlebih dahulu.

“…tapi itu adalah ungkapan kekesalan yang akan membuat orang-orang yang ga ngerti dengan kekesalan kalian jadi kesal.” – @kalfestino

Oke. Jadi waktu itu twit saya dibalas dengan “…tapi itu adalah ungkapan kekesalan yang akan membuat orang-orang yang ga ngerti dengan kekesalan kalian jadi kesal.” Masuk akal. Wong orang-orang yang melakukan aksi, di mana (hampir) seluruhnya merupakan tenaga medis saja banyak yang cuma ikut-ikutan, tidak mengerti sama sekali bagaimana duduk perkara kasus ini, apalagi para “penonton”-nya yang kebanyakan merupakan orang non-medis. Masyarakat awam cuma tahu “dokter mogok” sedangkan pasien sakitnya tidak mogok. Dokter selalu mengatakan mereka bekerja 24/7 tanpa kenal libur. Namun di sisi lain, pasien juga sakitnya 24/7 dan tidak mengenal libur, dan oleh karenanya berhak mendapatkan akses 24/7 ke layanan kesehatan tanpa mengenal libur. Jadi dari sudut pandang awam, dokter adalah tokoh antagonis di sini. Ya iya. Dokternya mogok untuk apa? Untuk menyatakan simpati pada dokter lain. Lantas siapa yang peduli pada mereka? Tidak ada. Mereka mana mau ambil pusing dengan fakta bahwa fasilitas pelayanan kesehatan primer dan gawat darurat tetap buka, toh kata-kata “dokter mogok” dicetak dengan huruf kapital sebagai judul, sedangkan kata-kata “kecuali  blablabla” hanya dicetak kecil-kecil pada akhir paragraf. Salah media? Tidak sepenuhnya.

Kemudian saya ditanya bagaimana seandainya jika suatu saat ada sebuah kasus yang menyangkut polisi, dan ujung-ujungnya para polisi memutuskan untuk mogok untuk mendukung rekan seprofesinya. Ini sama dengan aksi solidaritas dokter, dan saya tahu bahwa saya masih menggunakan persepsi seorang dokter dalam menyikapi aksi tersebut. Oleh karena itu, saya pun mengganti sudut pandang menjadi seorang masyarakat, seorang awam, pada suatu kondisi di mana para polisi melakukan aksi mogok dan ada suatu keadaan di mana “kejahatan menjadi legal”. (Hal ini menarik – saya memang senang dengan cara berpikir yang selalu mencoba melihat dari sudut pandang pihak lain :)). Ketika itu saya menjawab, “Kalau saya sih, itu kayaknya kurang bertanggung jawab. Toh memang kalau jadi polisi ya itu risikonya, mau ga mau, suka ga suka. Soalnya masyarakat itu (idealnya) menaruh kepercayaan ke polisi. Jadi kalau polisi lepas tanggung jawab, itu mengkhianati masyarakat sebenarnya.” Saya dibalas hanya dengan satu kalimat. “Itulah pandangan masyarakat terhadap aksi dokter besok.” 🙂 Tampaknya, memang kita seringkali kurang mampu bersikap objektif saat suatu kasus menimpa “kelompok” kita, baik kelompok suku, ras, agama, profesi, dan lain-lain.

“Seburuk-buruknya membela adalah membela dengan membabi buta.” – Joko Anwar (@jokoanwar)

Berikut ini satu artikel yang menurut saya bagus (artikel favorit saya sejauh ini menyangkut aksi solidaritas dokter baru-baru ini) berjudul “Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini” oleh Anjari (http://anjaris.me/memahami-aksi-mogok-dokter-hari-ini/). Saya paling suka dengan paragraf ini.

“Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah ‘dewa penolong’. Itu juga berlaku bagi keluarga, ketika melihat upaya sungguh-sungguh dokter dalam mengobati pasien. Bahkan ketika pasien itu meninggal dunia, keluarga pun akan ikhlas menerima sepanjang mereka menyaksikan upaya dan kesungguhan dokter selamatkan nyawa. Maka banyak ditemukan, anggota keluarga pasien yang marah atau menuntut dokter adalah keluarga yang tidak ada didekat pasien. Singkatnya, pasien dan keluarga akan menganggap dokter adalah pahlawan yang berusaha selamatkan pasien. Bagaimana jika karena dokter sering lakukan aksi bahkan mogok, masyarakat menganggap dokter juga seperti masyarakat biasa seperti lainnya. Dokter bukan lagi dianggap dewa penolong, melainkan anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari uang sebagai dokter. Jika demikian, jangan salahkan banyak orang miskin yang tak punya uang memilih ke dukun atau pengobatan alternatif yang bertarif seikhlasnya.” – Anjari

Bukankah itu benar? Mengapa kita menyalahkan pasien yang tidak menghargai dokter jika kita sendiri tidak mampu membuat diri kita pantas dihargai? Respect is earned, not given. Tidak dapat dipungkiri, profesi dokter merupakan suatu profesi yang mulia, sebab seorang dokter berurusan dengan hidup mati dan sehat tidaknya manusia. Dokter adalah seorang manusia yang pekerjaannya secara langsung menyangkut kelangsungan hidup manusia lainnya. Meminjam semboyan profesi pilot, “The sky is vast, but there’s no room for error“, demikian pula halnya dengan profesi dokter. Seorang dokter tidak sepatutnya melakukan kesalahan, ataupun kelalaian, sebab ia memikul beban berupa tanggung jawab dan kepercayaan dari pasiennya. There’s no room for error, because we are humans who deal with human life.

Lalu mengapa – saat posisi dokter justru sedemikian pentingnya dalam masyarakat, dokter justru melakukan tindakan-tindakan yang dinilai mengecewakan dan melunturkan respek terhadap profesinya sendiri? Tidakkah ironis jika dokter membela diri “kami hanya manusia biasa” namun pada saat yang sama juga menyindir mereka yang mencela dengan “nanti kalau sakit tidak usah ke dokter ya”? Bukankah lucu jika mengklaim bahwa dokter bekerja dengan tulus ikhlas melayani pasien kemudian mengeluarkan ungkapan “Jika orang tidak menghargai kehadiranmu, buatlah mereka menghargai ketidakhadiranmu” (“If someone does not appreciate your presence, then make them appreciate your absence”)? Entah mengapa, kok saya jadi teringat aksi ngambek saya sewaktu masih kecil dulu ya? Bukankah kalimat tersebut bisa dibalas dengan ucapan “If your presence doesn’t make an impact to others, then your absence won’t make a difference”? 🙂

Saya selalu bilang, jangan setengah-setengah, sebab yang setengah-setengah itu tidak pernah sebaik yang total. Begitu pula dengan ini. Kalau rendah hati, jangan setengah-setengah. Kalau sombong juga jangan setengah-setengah. Hahaha. 😀 😀 😀

proxy

Saya merasa miris. Setiap perkataan, tindakan, maupun sikap yang dikeluarkan oleh dokter, jika dilakukan secara defensif-reaktif, justru akan menjadi bumerang bagi profesi kedokteran itu sendiri. Ingatlah bahwa sebelum menjadi dokter, semua dokter adalah orang awam (pasien). Oleh karena itu, cobalah sesekali memandang segala sesuatunya dari sudut pandang awam. Jangan karena sekian tahun kita dicekoki oleh hal-hal “kelas tinggi” yang berbau medis, maka kita kemudian melupakan “keawaman” kita. Kita mengklaim bahwa kita “hanyalah manusia biasa”. Memang benar. Kita memang hanyalah manusia biasa, maka jangan buang kemanusiaan itu dengan bersembunyi di balik arogansi profesi. Kadang kita berkata “Semua orang butuh dokter.” Memang benar. Namun bukankah itu berarti bahwa kelak suatu saat kita akan menjadi pasien juga? Mungkin inilah sebabnya mengapa kalangan medis sendiri mengakui bahwa para dokter adalah pasien yang paling cerewet. 🙂

“Jangan sampai merugikan seribu orang hanya karena kita ngambek pada sepuluh orang.”

Meskipun artikel ini sepertinya sudah telat dan tidak mengikuti tren media lagi, toh masih banyak hal yang bisa kita petik dari kasus tersebut. Saya ingin angkat topi bagi Hakim Agung Dr. H. Artidjo Alkostar, SH, LLM atas kepiawaiannya dalam mengolah kasus. Sejujurnya, terungkapnya fakta-fakta dalam kasus ini telah menguak banyak hal yang di dalam dunia medis dianggap biasa, yang setelah diketahui oleh masyarakat awam, ternyata berpotensi menimbulkan keresahan umum. Bagaimanapun akhirnya, menurut saya defensive medicine tetap bukan merupakan suatu solusi yang bijak untuk masyarakat Indonesia. Saat ini dunia kedokteran Indonesia tengah memasuki suatu masa transisi – ketika orang-orang awam akhirnya mencicipi buah pengetahuan terlarang, pantaskah kita menghalau mereka dari Taman Firdaus?

993441_10202471844099901_2104042500_n

“Those who tell no lies, have nothing to fear.”

Untuk direnungkan:
http://www.psmag.com/health/doctors-stay-silent-mistakes-colleagues-make-70598/

5 thoughts on “Apel: Saya Sebagai Awam

  1. terima kasih kunjungan ke blog saya dok…
    semoga anda termasuk dokter yang mendudukkan kemuliaan dokter sebagaimana mestinya. dan tetap menjadi ‘dewa penolong’ bagi masyarakat khususnya orang sakit. amiin.

    Like

Leave a comment